Melung, Kisah Sebuah Desa-Internet
VIVAnews - Menjelang senja, Desa Melung, Banyumas, Jawa Tengah, terlihat sepi.
Suasananya seperti biasa, damai, sejuk, dan
bersahaja. Tidak ada yang membuatnya tampak
istimewa dibandingkan desa-desa tetangga.
Kasat mata, hanya terlihat sekumpulan rumah
sederhana, dikepung perbukitan serta pepohonan hijau di lereng Gunung Slamet.
"Dulu, jam segini, warga sering berkumpul di
sudut jalan. Biasanya di kedai. Melepas lelah
setelah seharian bekerja. Ada yang pulang
bertani, dagang, macam-macam," tutur Agung
Budi Satrio kala berbincang-bincang dengan
VIVAnews di rumahnya, 9 Juli 2013. Budi — begitu dia disapa— adalah mantan Kepala Desa
Melung. "Tapi, pemandangan itu sudah jarang terlihat
lagi. Sejak warga di sini mengenal Internet,
mereka lebih kerasan berada di rumah. Hanya
sesekali kumpul-kumpul di luar rumah," katanya,
sembari menyeruput kopi.
Internet? Melung bukan desa di pinggiran kota. Memiliki
luas area sekitar 1.320 hektar, ini desa di pelosok
yang berada di ketinggian 600 meter dari
permukaan laut, di lereng Gunung Slamet.
Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jantung
ibukota Kabupaten Banyumas.
Cuma, nama desa berpenduduk sekitar 2.000
jiwa ini kencang bergaung di dunia maya. Desa
kecil ini sohor dengan julukan “desa-Internet”,
desa yang melek teknologi informasi.
Modal Rp6 Juta
Budi bukan sembarang kepala desa. Dialah sang
penggagas gerakan “Internet masuk desa” di
Melung. Saat wartawan VIVAnews menyalakan laptop,
dia langsung menukas, "Tidak usah pakai modem.
Buat apa?" Tahu yang diajak bicara mendadak jadi
bengong, Budi buru-buru menjelaskan sembari
tersenyum. "Hampir seluruh kawasan di desa ini
sudah menjadi hotspot area, tinggal disambung
saja.”
Budi pun berkisah. Suatu waktu di tahun 2008 dia merenung,
menyadari lokasi desanya yang amat terpencil
dan tersisih dari derasnya arus informasi di
luar sana. Informasi hanya dapat diperoleh dari
surat kabar, tapi cuma bisa diakses segelintir
warga. Infrastruktur telekomunikasi sudah mulai menjangkau Melung, tapi jauh dari
memadai; untuk tidak bilang memprihatinkan. Entah bagaimana, dia pun bertekad
memperkenalkan teknologi informasi, termasuk
akses Internet, pada warganya. "Saya ingin
membawa Internet sampai ke desa ini, apa pun
caranya," Budi mengisahkan tekadnya. Ketika
itu dia masih menjabat Kepala Desa (2002-2012), memimpin empat Rukun Warga.
Bermodalkan Rp1,5 juta, yang diambil dari kas
desa, Budi lalu menyewa jaringan Telkom Flexi,
lengkap dengan koneksi Internetnya. "Tapi,
setelah beberapa bulan, koneksinya mengalami
kendala. Kecepatannya sangat lambat,” kisahnya. Di tahun 2009, mereka beralih ke Telkom
Speedy. Namun, instalasi jaringan Telkom Speedy tak
semulus yang dibayangkan. Karena keterbatasan
jaringan, koneksinya tidak bisa menjangkau
Balai Desa Melung. Lagi-lagi Budi dipaksa
memutar otak.
Tak lantas patah arang, dia pun menemukan
siasat: menyambung jaringan Speedy terdekat
dengan rumahnya, yang berjarak satu kilometer
dari Balai Desa. "Untuk meneruskan koneksi Internet agar bisa
sampai ke Balai Desa, kami mengambil dana lagi
dari kas desa sebesar Rp4,5 juta. Dana itu
untuk membeli antena pemancar dan penerima.
Pemancar dipasang di rumah saya, sedangkan
antena penerima di Balai Desa." Budi menjelaskan alat pemancar dan penerima
yang dibelinya adalah antena omni. Ini antena nirkabel sederhana, berwujud tiang panjang
menyerupai busur panah . Fungsinya pun tak mewah, cuma untuk memperluas area jangkauan
sinyal Wi-Fi. Semakin besar volume dBi, maka
semakin luas atau jauh pula area yang bisa
dijangkau.
Sedikit demi sedikit, jangkauan Internet
diperluas. Selain di rumah Budi di Dusun Gerembul
Melung dan Balai Desa, antena omni juga
dipasangkan di gedung SMP Negri 3 Kedung
Banteng. Ini sebagai entry point Internet untuk
dua dusun lain, yaitu Gerembul Depok dan Gerembul Kaliputra (Lihat Infografik: Sistem Internet Desa Melung ). Untuk satu antena omni, diperlukan biaya Rp1,2
juta. Total, dia merogoh Rp3,6 juta untuk tiga
antena
Untuk antena yang menyebar sinyal hotspot di
Balai Desa dibeli seharga Rp475 ribu.
"Menggunakan router. Alat ini dipasang di
tempat yang tinggi menggunakan pipa, supaya
bisa menjangkau seluruh area Balai Desa,"
terang Budi. Router yang sama dipakai di Gerembul Depok
dan Gerembul Kaliputra agar koneksi Wi-Fi
merata. Per bulan, Pemerintah Desa Melung
menyisihkan Rp219 ribu untuk berlangganan
Paket Sosial, paket Internet Telkom Speedy
yang paling terjangkau.
Strategi "Bisnis" Untuk meringankan beban, biaya pemasangan
jaringan ini dibagi dua antara Pemerintah Desa
Melung dan SMP Negeri 3 Kedung Banteng. "Awalnya, penggunaan Speedy masih dibatasi.
Maksimal area hotspot hanya boleh di tiga
lokasi, yaitu di rumah saya, Balai Desa, dan
gedung SMP Negeri 3 Kedung Banteng,"
ujarnya.Tanpa diduga, antusiasme warga meledak tak
terkendali. Perlahan tapi pasti, mulai dari bocah
sampai orang tua melahap "makanan baru"
bernama Internet itu. Satu demi satu warga
mulai berburu PC dan laptop murah, sampai
ponsel bekas, supaya bisa menikmati Internet. Bagi yang kurang mampu, dipersilakan
menggunakan komputer di Balai Desa. "Ada
juga yang mengambil program cicilan," tutur
Budi. Tak pelak, jumlah netter di Desa Melung terus
berkembang. Budi melihat momentum berharga. Merogoh kocek pribadi, antena penerima dan
pemancar hotspot dia tambah, dari tiga menjadi
tujuh unit. Ini membuat jaringan Wi-Fi semakin
luas, dan menjangkau hampir seluruh sudut
desa.
Hari ini, dari empat Rukun Warga di Desa
Melung, tiga di antaranya sudah dijangkau
penuh oleh jaringan Wi-Fi, meliputi Gerembul
Melung, Gerembul Depok, dan Gerembul
Kaliputra. Yang tersisa tinggal Gerembul
Salarendeng. "Letaknya di tepi, satu kilometer dari Gerembul
Salarendeng. Kondisi geografis yang sulit
membuat Dusun Salarendeng belum dijangkau
Internet. Tapi, ini hanya soal waktu," ujar Budi
optimistis.
Dari Website sampai Open Source Memang, Budi mengakui, manfaat ekonomi yang
langsung dinikmati warga Melung belum
terlihat. Sejauh ini, akses Internet baru
memudahkan warga memperoleh dan saling
berbagi informasi. Seperti di kota hampir setiap
warga Melung memiliki akun Facebook dan Twiter. Di tingkat Desa, Budi dkk membuat website www.melung.desa.id . "Di Web ini, pemerintah desa dapat menuliskan seluruh informasi dan
kegiatan yang berkaitan dengan Desa Melung,"
ujar Margino. Dia adalah administrator website
Desa Melung ex officio Kepala Urusan Keuangan
Desa Melung. Margino membagi pengelolaan sistem teknologi
informasi di Melung menjadi dua. Pertama,
pengelolaan jaringan Internet menggunakan
akses Wi-Fi, termasuk software berbasis open
source. Kedua, pengelolaan website Desa Melung.
Dalam mengurus jaringan Internet, Margino
tidak sendirian. Dia dibantu oleh teknisi —juga
warga desa setempat-- yang bersiaga 24 jam
jika terjadi kerusakan. Untuk sistem operasi,
Margino memastikan segenap perangkat desa
tidak lagi menggunakan Windows, tapi yang berbasis open source. "Kami memakai Linux, Ubuntu, dan sistem
operasi lokal, BlankOn Banyumas, yang
memakai Bahasa Jawa Banyumas. Ini diciptakan
agar warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia
tetap bisa membuat berita atau kabar dengan
Bahasa Banyumasan untuk di-update ke situs Melung," Margino menjelaskan kepada
VIVAnews. Selain mudah diaplikasikan dan gratis,
menurutnya, penggunaan sistem operasi open
source relatif lebih aman dari ancaman virus.
Beberapa tahun lalu, Margino mengisahkan,
semua perangkat komputer di Balai Desa
ngadat karena terinfeksi virus. "Masalah itu teratasi sejak kami menggunakan sistem operasi
open source. Lebih aman, murah juga. Kami tak
perlu membeli sistem operasi yang mahal, sampai
15 juta rupiah per tahun," ungkapnya.
Bagaimana dengan pengelolaan website Desa
Melung? Dia menjelaskan, pembagian tugas meliputi
berbagai hal terkait pengelolaan data --mulai
dari data kependudukan, data potensi sumber
daya alam, beragam peristiwa di desa, serta
beragam informasi kegiatan desa. "Supaya pengunjung website bisa mengetahui
potensi Desa Melung seperti pertanian,
peternakan, dan seni budaya. Semua ada.
Lengkap. Bahkan, kami juga mempunyai daftar
warga yang menjadi TKI di luar negeri. Jadi
bisa dikontrol, mengantisipasi kalau ada apa- apa," ucap Margino.
Untuk dicatat, selama ini Margino mengelola
website Desa Melung melalui ponsel pintar di
genggaman tangannya.
Masa depan Melung Belum lama ini Budi lengser. Langkahnya
diteruskan oleh penggantinya, Khoerudin. Kepala Desa yang baru ini bertekad menggenjot
akses dan fasilitas Internet di Melung ke tahap
selanjutnya. Dalam satu tahun, dia bersiap
menggelontorkan dana dari kas desa sebesar
Rp78 juta. Porsi terbesarnya, yakni 70 persen,
adalah untuk pembangunan infrastruktur. Menurut Khoerudin, selama ini tidak ada sepeser
pun dana dari Pemerintah Kabupaten, Provinsi,
apalagi Pusat yang diteteskan untuk membantu
pembangunan infrastruktur Internet di
desanya. Melung menjadi “Desa-Internet”
sepenuhnya berkat inisiatif dan dana dari pemerintah desa dan warga setempat.
Ironis. "Sejauh ini, keberadaan Internet telah banyak
dimanfaatkan oleh warga masyarakat, meski
baru sebatas mengenal situs jejaring sosial,
seperti Facebook dan Twitter. Tapi beberapa
sudah mulai mencari-cari informasi tentang
pertanian dan usaha," ungkap Khoerudin. Dalam perkembangannya nanti, dia berharap
warga mulai memanfaatkan Internet untuk
memasarkan produk setempat dan bersiap
menyambut era e-commerce. Menginspirasi Melung kini menjadi inspirasi sekaligus "sekolah"
bagi desa-desa tetangganya di dalam maupun luar Kabupaten Banyumas (Lihat: Menembus Jagat Maya dari Desa ). Budi menjelaskan program Internet Melung
menjadi embrio lahirnya Gerakan Desa Membangun . Ini sebuah gerakan yang dilandasi semangat membangun desa dengan berbasiskan
Internet dan teknologi informasi, secara mandiri
dan swadaya. Gerakan ini mencakupi sejumlah
kegiatan mendasar, seperti membangun jaringan
Internet, menggunakan sistem open source pada
perangkat komputer, serta membuat Website gratis. Sejauh ini, sudah sekitar 30 desa yang
bergabung dalam gerakan ini. "Gerakan Desa Membangun yang dirintis dari
Desa Melung terus berkembang. Di wilayah
Kabupaten Banyumas saja tercatat lebih dari
28 desa yang terlibat. Gerakan ini juga
berkembang pesat di sejumlah daerah lain di
Indonesia," ujar Budi, bangga, sembari berapi- api menekankan bahwa ini gerakan swadaya
masyarakat. "Tanpa harus menggunakan
anggaran pemerintah yang terkadang hanya
berorientasi proyek, sementara program yang
dijalankan nyaris tidak ada."
Hal ini diamini Djadja Achmad Sardjana, pakar
teknologi informatika ITB. Dia berpendapat
Gerakan Desa Membangun bisa menjadi nafas
baru rakyat pedesaan dalam membangun. "Ini
gerakan desa membangun, bukan membangun
desa," kata Djadja. Dia juga mengkonfirmasikan betapa “virus
Internet” telah mulai menyebar dari Melung ke
desa-desa lain di luar Banyumas. Salah satunya
adalah Desa Mandalamekar di Jatiwaras,
Kabupaten Tasikmalaya. "Bahkan, di
Mandalamekar, kepala desa di sana sudah membuat program jangka panjang 25 tahun
untuk membangun desa," kata Djadja. (kd)
Suasananya seperti biasa, damai, sejuk, dan
bersahaja. Tidak ada yang membuatnya tampak
istimewa dibandingkan desa-desa tetangga.
Kasat mata, hanya terlihat sekumpulan rumah
sederhana, dikepung perbukitan serta pepohonan hijau di lereng Gunung Slamet.
"Dulu, jam segini, warga sering berkumpul di
sudut jalan. Biasanya di kedai. Melepas lelah
setelah seharian bekerja. Ada yang pulang
bertani, dagang, macam-macam," tutur Agung
Budi Satrio kala berbincang-bincang dengan
VIVAnews di rumahnya, 9 Juli 2013. Budi — begitu dia disapa— adalah mantan Kepala Desa
Melung. "Tapi, pemandangan itu sudah jarang terlihat
lagi. Sejak warga di sini mengenal Internet,
mereka lebih kerasan berada di rumah. Hanya
sesekali kumpul-kumpul di luar rumah," katanya,
sembari menyeruput kopi.
Internet? Melung bukan desa di pinggiran kota. Memiliki
luas area sekitar 1.320 hektar, ini desa di pelosok
yang berada di ketinggian 600 meter dari
permukaan laut, di lereng Gunung Slamet.
Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jantung
ibukota Kabupaten Banyumas.
Cuma, nama desa berpenduduk sekitar 2.000
jiwa ini kencang bergaung di dunia maya. Desa
kecil ini sohor dengan julukan “desa-Internet”,
desa yang melek teknologi informasi.
Modal Rp6 Juta
Budi bukan sembarang kepala desa. Dialah sang
penggagas gerakan “Internet masuk desa” di
Melung. Saat wartawan VIVAnews menyalakan laptop,
dia langsung menukas, "Tidak usah pakai modem.
Buat apa?" Tahu yang diajak bicara mendadak jadi
bengong, Budi buru-buru menjelaskan sembari
tersenyum. "Hampir seluruh kawasan di desa ini
sudah menjadi hotspot area, tinggal disambung
saja.”
Budi pun berkisah. Suatu waktu di tahun 2008 dia merenung,
menyadari lokasi desanya yang amat terpencil
dan tersisih dari derasnya arus informasi di
luar sana. Informasi hanya dapat diperoleh dari
surat kabar, tapi cuma bisa diakses segelintir
warga. Infrastruktur telekomunikasi sudah mulai menjangkau Melung, tapi jauh dari
memadai; untuk tidak bilang memprihatinkan. Entah bagaimana, dia pun bertekad
memperkenalkan teknologi informasi, termasuk
akses Internet, pada warganya. "Saya ingin
membawa Internet sampai ke desa ini, apa pun
caranya," Budi mengisahkan tekadnya. Ketika
itu dia masih menjabat Kepala Desa (2002-2012), memimpin empat Rukun Warga.
Bermodalkan Rp1,5 juta, yang diambil dari kas
desa, Budi lalu menyewa jaringan Telkom Flexi,
lengkap dengan koneksi Internetnya. "Tapi,
setelah beberapa bulan, koneksinya mengalami
kendala. Kecepatannya sangat lambat,” kisahnya. Di tahun 2009, mereka beralih ke Telkom
Speedy. Namun, instalasi jaringan Telkom Speedy tak
semulus yang dibayangkan. Karena keterbatasan
jaringan, koneksinya tidak bisa menjangkau
Balai Desa Melung. Lagi-lagi Budi dipaksa
memutar otak.
Tak lantas patah arang, dia pun menemukan
siasat: menyambung jaringan Speedy terdekat
dengan rumahnya, yang berjarak satu kilometer
dari Balai Desa. "Untuk meneruskan koneksi Internet agar bisa
sampai ke Balai Desa, kami mengambil dana lagi
dari kas desa sebesar Rp4,5 juta. Dana itu
untuk membeli antena pemancar dan penerima.
Pemancar dipasang di rumah saya, sedangkan
antena penerima di Balai Desa." Budi menjelaskan alat pemancar dan penerima
yang dibelinya adalah antena omni. Ini antena nirkabel sederhana, berwujud tiang panjang
menyerupai busur panah . Fungsinya pun tak mewah, cuma untuk memperluas area jangkauan
sinyal Wi-Fi. Semakin besar volume dBi, maka
semakin luas atau jauh pula area yang bisa
dijangkau.
Sedikit demi sedikit, jangkauan Internet
diperluas. Selain di rumah Budi di Dusun Gerembul
Melung dan Balai Desa, antena omni juga
dipasangkan di gedung SMP Negri 3 Kedung
Banteng. Ini sebagai entry point Internet untuk
dua dusun lain, yaitu Gerembul Depok dan Gerembul Kaliputra (Lihat Infografik: Sistem Internet Desa Melung ). Untuk satu antena omni, diperlukan biaya Rp1,2
juta. Total, dia merogoh Rp3,6 juta untuk tiga
antena
Untuk antena yang menyebar sinyal hotspot di
Balai Desa dibeli seharga Rp475 ribu.
"Menggunakan router. Alat ini dipasang di
tempat yang tinggi menggunakan pipa, supaya
bisa menjangkau seluruh area Balai Desa,"
terang Budi. Router yang sama dipakai di Gerembul Depok
dan Gerembul Kaliputra agar koneksi Wi-Fi
merata. Per bulan, Pemerintah Desa Melung
menyisihkan Rp219 ribu untuk berlangganan
Paket Sosial, paket Internet Telkom Speedy
yang paling terjangkau.
Strategi "Bisnis" Untuk meringankan beban, biaya pemasangan
jaringan ini dibagi dua antara Pemerintah Desa
Melung dan SMP Negeri 3 Kedung Banteng. "Awalnya, penggunaan Speedy masih dibatasi.
Maksimal area hotspot hanya boleh di tiga
lokasi, yaitu di rumah saya, Balai Desa, dan
gedung SMP Negeri 3 Kedung Banteng,"
ujarnya.Tanpa diduga, antusiasme warga meledak tak
terkendali. Perlahan tapi pasti, mulai dari bocah
sampai orang tua melahap "makanan baru"
bernama Internet itu. Satu demi satu warga
mulai berburu PC dan laptop murah, sampai
ponsel bekas, supaya bisa menikmati Internet. Bagi yang kurang mampu, dipersilakan
menggunakan komputer di Balai Desa. "Ada
juga yang mengambil program cicilan," tutur
Budi. Tak pelak, jumlah netter di Desa Melung terus
berkembang. Budi melihat momentum berharga. Merogoh kocek pribadi, antena penerima dan
pemancar hotspot dia tambah, dari tiga menjadi
tujuh unit. Ini membuat jaringan Wi-Fi semakin
luas, dan menjangkau hampir seluruh sudut
desa.

Hari ini, dari empat Rukun Warga di Desa
Melung, tiga di antaranya sudah dijangkau
penuh oleh jaringan Wi-Fi, meliputi Gerembul
Melung, Gerembul Depok, dan Gerembul
Kaliputra. Yang tersisa tinggal Gerembul
Salarendeng. "Letaknya di tepi, satu kilometer dari Gerembul
Salarendeng. Kondisi geografis yang sulit
membuat Dusun Salarendeng belum dijangkau
Internet. Tapi, ini hanya soal waktu," ujar Budi
optimistis.
Dari Website sampai Open Source Memang, Budi mengakui, manfaat ekonomi yang
langsung dinikmati warga Melung belum
terlihat. Sejauh ini, akses Internet baru
memudahkan warga memperoleh dan saling
berbagi informasi. Seperti di kota hampir setiap
warga Melung memiliki akun Facebook dan Twiter. Di tingkat Desa, Budi dkk membuat website www.melung.desa.id . "Di Web ini, pemerintah desa dapat menuliskan seluruh informasi dan
kegiatan yang berkaitan dengan Desa Melung,"
ujar Margino. Dia adalah administrator website
Desa Melung ex officio Kepala Urusan Keuangan
Desa Melung. Margino membagi pengelolaan sistem teknologi
informasi di Melung menjadi dua. Pertama,
pengelolaan jaringan Internet menggunakan
akses Wi-Fi, termasuk software berbasis open
source. Kedua, pengelolaan website Desa Melung.
Dalam mengurus jaringan Internet, Margino
tidak sendirian. Dia dibantu oleh teknisi —juga
warga desa setempat-- yang bersiaga 24 jam
jika terjadi kerusakan. Untuk sistem operasi,
Margino memastikan segenap perangkat desa
tidak lagi menggunakan Windows, tapi yang berbasis open source. "Kami memakai Linux, Ubuntu, dan sistem
operasi lokal, BlankOn Banyumas, yang
memakai Bahasa Jawa Banyumas. Ini diciptakan
agar warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia
tetap bisa membuat berita atau kabar dengan
Bahasa Banyumasan untuk di-update ke situs Melung," Margino menjelaskan kepada
VIVAnews. Selain mudah diaplikasikan dan gratis,
menurutnya, penggunaan sistem operasi open
source relatif lebih aman dari ancaman virus.
Beberapa tahun lalu, Margino mengisahkan,
semua perangkat komputer di Balai Desa
ngadat karena terinfeksi virus. "Masalah itu teratasi sejak kami menggunakan sistem operasi
open source. Lebih aman, murah juga. Kami tak
perlu membeli sistem operasi yang mahal, sampai
15 juta rupiah per tahun," ungkapnya.
Bagaimana dengan pengelolaan website Desa
Melung? Dia menjelaskan, pembagian tugas meliputi
berbagai hal terkait pengelolaan data --mulai
dari data kependudukan, data potensi sumber
daya alam, beragam peristiwa di desa, serta
beragam informasi kegiatan desa. "Supaya pengunjung website bisa mengetahui
potensi Desa Melung seperti pertanian,
peternakan, dan seni budaya. Semua ada.
Lengkap. Bahkan, kami juga mempunyai daftar
warga yang menjadi TKI di luar negeri. Jadi
bisa dikontrol, mengantisipasi kalau ada apa- apa," ucap Margino.
Untuk dicatat, selama ini Margino mengelola
website Desa Melung melalui ponsel pintar di
genggaman tangannya.
Masa depan Melung Belum lama ini Budi lengser. Langkahnya
diteruskan oleh penggantinya, Khoerudin. Kepala Desa yang baru ini bertekad menggenjot
akses dan fasilitas Internet di Melung ke tahap
selanjutnya. Dalam satu tahun, dia bersiap
menggelontorkan dana dari kas desa sebesar
Rp78 juta. Porsi terbesarnya, yakni 70 persen,
adalah untuk pembangunan infrastruktur. Menurut Khoerudin, selama ini tidak ada sepeser
pun dana dari Pemerintah Kabupaten, Provinsi,
apalagi Pusat yang diteteskan untuk membantu
pembangunan infrastruktur Internet di
desanya. Melung menjadi “Desa-Internet”
sepenuhnya berkat inisiatif dan dana dari pemerintah desa dan warga setempat.
Ironis. "Sejauh ini, keberadaan Internet telah banyak
dimanfaatkan oleh warga masyarakat, meski
baru sebatas mengenal situs jejaring sosial,
seperti Facebook dan Twitter. Tapi beberapa
sudah mulai mencari-cari informasi tentang
pertanian dan usaha," ungkap Khoerudin. Dalam perkembangannya nanti, dia berharap
warga mulai memanfaatkan Internet untuk
memasarkan produk setempat dan bersiap
menyambut era e-commerce. Menginspirasi Melung kini menjadi inspirasi sekaligus "sekolah"
bagi desa-desa tetangganya di dalam maupun luar Kabupaten Banyumas (Lihat: Menembus Jagat Maya dari Desa ). Budi menjelaskan program Internet Melung
menjadi embrio lahirnya Gerakan Desa Membangun . Ini sebuah gerakan yang dilandasi semangat membangun desa dengan berbasiskan
Internet dan teknologi informasi, secara mandiri
dan swadaya. Gerakan ini mencakupi sejumlah
kegiatan mendasar, seperti membangun jaringan
Internet, menggunakan sistem open source pada
perangkat komputer, serta membuat Website gratis. Sejauh ini, sudah sekitar 30 desa yang
bergabung dalam gerakan ini. "Gerakan Desa Membangun yang dirintis dari
Desa Melung terus berkembang. Di wilayah
Kabupaten Banyumas saja tercatat lebih dari
28 desa yang terlibat. Gerakan ini juga
berkembang pesat di sejumlah daerah lain di
Indonesia," ujar Budi, bangga, sembari berapi- api menekankan bahwa ini gerakan swadaya
masyarakat. "Tanpa harus menggunakan
anggaran pemerintah yang terkadang hanya
berorientasi proyek, sementara program yang
dijalankan nyaris tidak ada."
Hal ini diamini Djadja Achmad Sardjana, pakar
teknologi informatika ITB. Dia berpendapat
Gerakan Desa Membangun bisa menjadi nafas
baru rakyat pedesaan dalam membangun. "Ini
gerakan desa membangun, bukan membangun
desa," kata Djadja. Dia juga mengkonfirmasikan betapa “virus
Internet” telah mulai menyebar dari Melung ke
desa-desa lain di luar Banyumas. Salah satunya
adalah Desa Mandalamekar di Jatiwaras,
Kabupaten Tasikmalaya. "Bahkan, di
Mandalamekar, kepala desa di sana sudah membuat program jangka panjang 25 tahun
untuk membangun desa," kata Djadja. (kd)
Posting Komentar untuk "Melung, Kisah Sebuah Desa-Internet"